MataKuliah.info

MataKuliah.info


Emotional Intelligence

Posted: 07 Oct 2011 03:56 AM PDT

Learners characteristics is defined as the aspects or quality individuals who are studying (students (learners)). These aspects can be a talent, motivation, behavior, the habit, early ability, socioeconomic status, emotional intelligence and so forth.
Daniel Goleman in his book Emotional Intelligence says that people who frequently acted recklessly, without thinking long, has no lack of empathy and patience are the people who have low levels of emotional intelligence. The low level of emotional intelligence, not only disastrous for himself, but also very harmful to others and the environment.
Emotions greatly affect human life, when she took a decision not uncommon for the decision taken by his emotions. Nothing at all human decisions taken purely from the ratio of thinking (minds), because all decisions have an emotional color. If we look at the decisions in human life, the decision was more determined by their emotions rather than common sense. Tragically, more and more people who currently have a low emotional level. Daniel Goleman also says that what determines success in human life are not intellectual, but emotional intelligence.
Emotional Intelligence is measured by ability to control emotion and restraint. In Islam, the ability to control emotion and restraint is called patience. People who are most patient are the most high emotional intelligence. He usually steadfast in face of adversity. When studying these people diligently. He has high empathy, responsiveness to social environment, discipline and responsibility. He managed to overcome shared problems and do not indulge her emotions. He can control his behavior and emotions. (Jalaluddin Rachmat, 2001)
Emotional intelligence plays a role in the success and the successes of the person’s life, 20% of the successful person’s life is determined by its intellectual intelligence (IQ), whereas 80% of them are determined by emotional intelligence (EQ) and other intelligence.
Understanding Emotional Intelligence
A. Definition based on syllable
- Intelligence: [n] (1) concerning intelligent, (2) the intellectual act; perfection of mind development (such as intelligence, sharpness of mind): (KBBI)
- Emotions: the urge for immediate action plan to address problems embedded gradually associated with the experience from time to time. The word emotion comes from the Latin meaning defined Movere moves / move and away.
B. The definition according to the experts:
- The theory of Emotional Intelligence Daniel Golman
The term emotional intelligence (EQ) has become widely known by mid year 1990 with the publication of Daniel Goleman’s book “Emotional Intelligence”. In his book The Goleman explains that emotional intelligence is the ability to recognize our own feelings and the ability to manage emotions well for themselves and in relationships with others (Goleman, 2005).
- According to hamzah B. Uno (2006:68):
Emotional intelligence is the ability as the ability to motivate yourself and survive deal with frustration, impulse control and do not exaggerate pleasure; regulate moods and maintain for the load stress is not crippling the ability of thinking; empathize and pray.
- According to Stein and Book (2002: 30)
EQ is a set of skills that enable us to clear the way in a complicated world, including aspects of personal, social, and defense of all the intelligence, common sense is full of mystery, and sensitivity are essential to function effectively each day.
In everyday language, emotional intelligence, we usually refer to as “street smart (smart)”, or special abilities which we call “common sense”, related to the ability to read political and social environment, and set it back: the ability to understand with what spontaneous desired and needed by others, their advantages and disadvantages; ability to pressure is not affected, and the ability to be a fun person, whose presence on the desires of others.
Emotional intelligence skills to work in synergy with cognitive skills, these people are high achievers have both, without emotional intelligence, people will not be able to use their cognitive abilities in accordance with the maximum potential.

Main Components Emotional Intelligence
In explaining the concept of intelligence of emotions, Goleman (1995) share the emotional intelligence to the five main components which form the first three components and two components of emotional competence in the form of social competence. Five components are
- Recognizing Emotion Yourself, the region is the basis of emotional intelligence. Mastery of this one will have the sensitivity of decisions on personal problems.
- Set Yourself Emotions, emotional intelligence a person in this section is shown with the ability to entertain yourself, let go of anxiety, depression, or the offense so that he can bounce back much more quickly than the decline and fall in life.
- Self motivate, intelligence relates to a person’s ability to arouse desire, self-control, restraint of satisfaction and anxiety. Success in this area will make a person likely to be far more productive and effective in anything they do.
- The Emotional One Another, Closely related to empathy, emotional intelligence is a is a “skill mix” basis. People who are more empathic able to capture social signals that suggest hidden anything that other people needed or desired.
Fostering Relationships, Art relationships, requires intelligence and skill in managing the emotions of someone else. It is very necessary to support the popularity, leadership, and success of interpersonal.

Antropologi Jalanan

Posted: 06 Oct 2011 03:57 PM PDT

BUDAYA MINTA-MINTA

Rasa aman dan nyaman pada dasarnya merupakan impian setiap individu dalam menjalani kehidupan di lingkungan dimana ia beraktifitas. Di sini penulis mencoba untuk membahas sebuah fenomena yang mungkin telah menjadi kebiasaan kebanyakan masyarakat di daerah penulis sendiri. Sebuah fenomena yang terus berkembang dalam masyarakat Minangkabau, khususnya Sumatera Barat : yaitu pungutan, baik yang bersifat liar atau tidak resmi maupun resmi namun tidak bertanggung jawab. Dalam membahas fenomena ini, penulis berharap kita semua bijak dalam melihat apa yang coba penulis uraikan. Pungutan, iuran, retribusi, atau apapun namanya, apabila kebijakan tersebut saling menguntungkan antara mereka yang berkewajiban untuk membayar dan mereka yang melakukan tindakan tersebut, jelas hal itu sah-sah saja. Namun kebanyakan kasus, tindakan tersebut hanya memberatkan dan merugikan mereka yang kebetulan dibebani untuk membayar segala bentuk bayaran tersebut.
Pernah suatu hari penulis pergi bersama beberapa orang teman ke luar kota, pada hari itu selama dalam perjalanan entah beberapa kali mobil kami terpaksa melambat karena jalan lintas antar kota tersebut macet karena di depan sebuah bus angkutan umum berjalan sangat lambat, di kiri-kanan bus tersebut terlihat beberapa orang mengangkat tinggi-tinggi sebuah ember yang digunakan untuk menampung sumbangan dari para penumpang bus tersebut. Mungkin karena sudah terlalu sering hal tersebut terjadi, tiba-tiba seorang teman penulis menggerutu dan membahas fenomena tersebut dengan sudut pandangnya yang menilai hal tersebut adalah sesuatu yang negatif. Kalau kita urai lebih jauh secara tidak langsung tindakan tersebut telah membuat orang memiliki pikiran negatif dan akhirnya tidak lagi simpatik dengan apa yang di lakukan oleh masyarakat tersebut. Mungkin mereka akan mendirikan tempat ibadah, jelas tindakan tersebut adalah sesuatu yang baik, namun membuat orang berdosa karena kebijakan yang diambil untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut, jelas itu tidak baik lagi.
Saat kita berjalan ke suatu tempat atau ke luar daerah, sering kita temui dibeberapa tempat masyarakat sekitar menghadang lajunya mobil-mobil yang melintas untuk meminta sumbangan untuk berbagai bentuk pembangunan. Baik itu untuk pembangunan mesjid atau musholla, atau sumbangan untuk perbaikan jalan yang rusak, atau pembangunan sarana sosial yang ada di daerah tersebut. Di satu sisi mungkin ada baiknya tindakan yang dilakukan oleh masyarakat yang bersangkutan. Secara tidak langsung mereka telah membantu orang lain untuk berbuat baik, karena kita tahu tidak semua orang punya waktu atau kesempatan untuk berbuat baik dalam hidupnya. Sebagai manusia normal kadang tidak jarang kita lupa bahwa sebagian dari harta yang kita miliki terdapat hak orang lain, dan untuk itu islam menganjurkan setiap umatnya untuk membersihkan harta mereka dengan jalan infak, sedekah, zakat atau cara yang lain sebagainya. Namun di satu sisi tindakan tersebut secara tidak langsung juga telah mengganggu keamanan dan kenyamanan orang lain dalam melaksanakan aktivitas mereka. Menghadang setiap mobil yang lewat, dengan harapan mereka yang lewat memberikan bantuan. Kita tahu tidak semua orang yang dapat menerima apa yang kita lakukan terhadap mereka. Setiap orang memiliki jalan fikiran yang belum tentu sama dengan apa yang kita pikirkan.
Fenomena di atas akan semakin terasa oleh mereka yang melakukan perjalanan ke luar kota pada saat bulan Ramadhan datang. Dalam diskusi penulis dengan beberapa orang teman, mereka menganggap bahwa tindakan atau kebijakan yang diambil tersebut adalah sebuah bentuk penyimpangan dan pemanfaatan dokrin agama yang diajarkan pada setiap pengikutnya untuk terus beramal dalam keseharian mereka. Seorang dosen Antropologi Agama kami pernah menuliskan dalam sebuah artikelnya, menyatakan bahwa ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu dalam Islam bukanlah kebudayaan, akan tetapi kalau ajaran tersebut diyakini, dipahami dan di interpretasikan serta diamalkan manusia, barulah kemudian ajaran tersebut menjadi kebudayaan Islam. Kalau kita berangkat dari konsep yang dituliskan diatas untuk melihat fenomena yang sedang kita bahas ini, sebuah pertanyaan akan muncul apakah fenomena tersebut merupakan kebudayaan islam ?. Jelas Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menjadi orang yang hidup dari belas kasihan orang lain. Lalu siapa yang bertanggung jawab untuk meluruskan semua itu ?.
Parsons pernah menulis bahwa agama adalah titik artikulasi antara culture system dan social system, dimana nilai-nilai dari sistem budaya terjalin dalam sistem sosial, dan diwariskan, diinternalisasikan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya, dengan kata lain agama juga merupakan sarana internalisasi nilai budaya yang terdapat di dalam masyarakat kepada sistem kepribadian individu. Kalau kita berangkat dari teori Parsons ini kita akan dapat memproyeksikan ke depan kira-kira apa yang akan terjadi pada generasi selanjutnya.
Tapi yang jelas kita masih harus terus belajar dan menganalisa berbagai fenomena yang ada disekitar kita, agar setiap kita tidak terjebak dalam pemikiran-pemikiran yang akhirnya mengungkung dan mempersempit pola pikir kita sendiri. Untuk hal ini penulis mencoba mengutip sebuah tulisan dari Ani Sekarningsih dalam bukunya “Teweraut” tentang makna belajar, ia menulis "Makna belajar adalah Mengubah pengetahuan dan pengalaman menjadi kearifan, kesabaran dan kasih sayang untuk menjadi dewasa, yang pada saatnya di harapkan dapat melengkapi kehidupan bangsa pemetik itu menjadi mandiri, agar tidak hidup dalam ketergantungan oleh sumbangan dan belas kasihan belaka" (Ani Sekarningsih, Teweraut, YOI, Jakarta, 2000, hal 294).

What's on Your Mind...

Diberdayakan oleh Blogger.

statistik

Arsip Blog

document.onkeydown = function (e) { if(e.which == 17){ return false;
free counters
banner angingmammiri Link