Home >Unlabelled > MataKuliah.info
MataKuliah.info
Posted on Selasa, 11 Oktober 2011 by Alamsyah Saputra Agung
MataKuliah.info |
- Antropologi : Written by Muhajir Al Fairusy| Mahasiswa Pascasarjana Antropologi UGM
- Antropologi : Mari berkenalan dengan Antropologi
- Antropologi : Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia
- internet:Sejarah Internet
- Antropologi Simbolik
Antropologi : Written by Muhajir Al Fairusy| Mahasiswa Pascasarjana Antropologi UGM Posted: 11 Oct 2011 07:49 AM PDT Antropologi menjadi "kue" rebutan dan perhatian dari berbagai kalangan ilmuwan sosial budaya sejak catatan-catatan para kolonial dan penjelajah menulis tentang kehidupan manusia diluar Eropa yang mereka anggap berbeda dengan kaum Eropa. Sehingga lahirlah etnografi sebagai produk antropologi. Semua ilmuwan sosial bisa memakai "antropologi" secara umum karena kajiannya yang terpusat pada manusia dan perilakunya. Apalagi ruang kehidupan manusia tanpa batas waktu tetap menjadi data primer antropologi untuk menghasilkan karyanya.
Disiplin ilmu sosial dan budaya menempatkan antropologi sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan sosial yang berusaha membahas kedua sisi sifat hakikat manusia sekaligus, yaitu biologis (antropologi ragawi) dan sisi kultural (antropologi budaya). Jadi semua sisi biologi seperti fisik manusia yang berbeda-beda menjadi objek kajiannya, serta hasil dari interaksi manusia yang menghasilkan budaya dan unsur-unsurnya juga menjadi objek antropologi, karena itu antropologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang manusia dan kekomplekan masalahnya. Sebagian ilmuwan sosial budaya menggunakan istilah antropologi untuk melihat fenomena tertentu yang berkembang dalam masyarakat dengan mengaitkan langsung kepada antropologi fulan wa fulan. Sebenarnya antropologi sebagai sebuah disiplin ilmu memiliki istilah permanen sendiri ketika dikontekskan dengan ilmu lainnya. Tidak semua fenomena kadang cocok dikaitkan dengan kata antropologi seperti "aliran sesat" yang sangat sensitif isunya dan dia juga bukan ilmu tetapi fenomena dalam masyarakat, jadi kurang tepat apabila disandingkan ilmu antropologi dengan kata aliran sesat kemudian membentuk antropologi aliran sesat mengingat tidak semua masyarakat kita mengerti "antropologi". Dalam disiplin antropologi yang ruang lingkup kajiannya begitu luas, para ahli antropologi hanya membaginya berdasarkan pendekatan ilmu lain yang akan dikaji, seperti antropologi ekonomi, antropologi sosial dan budaya, antropologi linguistik, antropologi sejarah, antropologi hukum, antropologi pertanian, antropologi kelautan dan antropologi agama sebagai antropologi untuk melihat aliran sesat yang menjadi kegelisahan dalam masyarakat terkait dengan kepercayaannya sebagai unsur budaya. Namun untuk menjadikannya "tema" menarik maka sang penulis sah-sah saja memakai istilah itu. Pada ruang tulisan ini saya bukan hakim yang berhak menyalahkan pendapat orang dan tulisannya kemudian memenangkan pihak yang merasa dirugikan. Tetapi sebagai mahasiswa antropologi saya memiliki tanggung jawab untuk meluruskan hal yang saya anggap benar menurut apa yang saya pelajari meskipun kebenaran itu sangat relatif. Dan pada ruang ini saya mengajak pihak akademisi dan ilmuwan seharusnya bersikap bijak membaca sesuatu tanpa kemudian langsung mengklaim "salah" apalagi langsung menuduh seseorang telah provokatif dan merugikan lembaga. Tulisan saudara Sehat Insan Sadikin (SIS) merupakan sebuah analisis terhadap fenomena religi, wajar saja tema seperti itu lahir mungkin karena kedongkolan melihat kualitas agama bangsanya yang "rapuh" dikikis oleh "pop culture". Namun saya kurang sepakat manakala menempatkan tema "antropologi aliran sesat" karena antropologi tidak berhak memberikan klaim kepada sebuah kepercayaan dengan kata sesat, apalagi tema tersebut bisa melahirkan multi tafsir dan alangkah lebih baik bila tema itu ditulis dengan tema antropologi agama. Pada ranah ilmu sosial budaya, antropologi mengambil "jatah" kajian yang ruang lingkupnya begitu luas. Sehingga dalam bukunya Teori Budaya karangan David Kaplan dan Robert A. Manners sempat tertulis antropologi merupakan ilmu paling "takabur" dalam artian positif diantara sekalian ilmu sosial. Betapa tidak karena antropologi mengambil budaya manusia untuk kajiannya di segala waktu dan tempat sebagai bidangnya yang sah. Fenomena aliran sesat di Aceh menjadi objek kajian antropologi bagi ilmuwan yang mengambil antropologi agama sebagai landasan pacunya. Penulis antropologi aliran sesat SIS adalah penulis yang tepat untuk mengupas masalah tersebut, namun ada sedikit "riak" sepertinya ketika penulis antropologi agama tersebut menempatkan objek kajiannya di depan kata "antropologi". Karena bagaimanapun aliran sesat adalah bagian dari fenomena budaya dan penafsiran yang lahir dari paradigma berpikir. Aliran sesat di Aceh memang bukan antropologi sebagaimana yang dipermasalahkan oleh pihak yang merasa dirugikan, tetapi ini merupakan objek kajian antropologi untuk mencari benang merah mengapa fenomena ini bisa lahir. Tema tulisan yang mengacu kepada isu sensitif memang bisa memberikan dampak luas bagi siapa yang menafsirkannya. Namun sebagai seorang yang bijaksana kita bisa mengetahui isi tema setelah membaca semua isi tulisan. Dalam kasus ini saya sedikit memberikan keterangan yang mungkin bisa ‘mendinginkan’ suasana, pertama, antropologi bukan ilmu yang dengan mudah memberikan "klaim" apalagi sampai menghakimi sebuah aliran dalam nuansa religi dengan kata "sesat", karena antropologi bukan ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf. Dia hanya ilmu yang memberikan gambaran gejala dan fenomena berdasarkan pada pertanyaan analisis mengapa itu bisa terjadi ?. Yang berhak memberikan klaim sebuah religi "sesat" hanyalah para ilmuwan dan cendikiawan agama tersebut apabila itu dirasa bertolak dengan keyakinannya. Kedua, antropologi menempatkan agama sebagai kajian analisisnya yang bertumpu pada fenomena religi sebagai unsur budaya dan layak untuk diteliti dalam masyarakat. Manusia sebagai makhluk budaya tentu akan terus berkreasi bahkan termasuk dalam ranah religi. Emosi keagamaan yang menyebabkan bahwa manusia memiliki sikap serba-religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Faktor ini lahir dari proses pemikiran ada apa setelah "kehidupan" sehingga dengan rasa takut dan keyakinannya manusia membutuhkan agama. Antropologi tidak melihat sebuah agama, kepercayaan dan keyakinan salah atau benar, tetapi semua proses beragama manusia yang berasal dari emosi menjadi perhatian antropologi. Sebagai ilmu yang menjelajahi masalah-masalah yang meliputi kekerabatan dan organisasi sosial, politik, tekhnologi, ekonomi, agama, bahasa, kesenian, dan mitologi. Antropologi memiliki jutaan tema melahirkan etnografinya sesuai paradigma berpikir. Mungkin untuk kalangan akademisi tema "antropologi aliran sesat" bisa dipahami secara konteks, namun bagaimana apabila "kue" antropologi aliran sesat di hidangkan kepada masyarakat kita yang tidak semuanya berbasis akademisi. Tentu akan melahirkan pemaknaan yang beragam. Agama dalam antropologi dipahami secara mendatail, lewat kajiannya antropologi agama telah menempatkan Islam kedalam tiga dimensi, pertama, Islam tekstual, yaitu Islam yang bersarkan pada Al Qur an dan Hadits, kedua, Islam Penafsiran, yaitu Islam yang lahir dari berbagai penafsiran ulama untuk menjawab tantangan zaman manusia, ketiga, Islam Praktek, yaitu Islam yang dipraktekkan oleh semua muslim dengan variasi pemahamannya termasuk pada "aliran sesat" tersebut. Sebenarnya untuk melihat fenomena aliran sesat di Aceh kita harus menemukan pola tepat. Kita lupa bahwa ada hal penting yang harus dilakukan yaitu bagaimana "mengislamkan orang Islam" kembali ke jalan Islam yang sesuai tuntunan Rasulullah. Fenomena hari ini sebenarnya adalah karena rapuhnya akidah umat Islam dan bukan salah "Islam-nya" serta nilai-nilainya karena ajaran Islam tidak pernah mengalami perubahan apalagi kerapuhan. Betapa banyak umat Islam hari ini yang perilaku kamanusiaannya tidak sesuai tuntunan Islam bahkan kebanyakan "melawan" nilai keislaman. Akhirnya, tulisan ini hanyalah sebagai pengisi nuansa "ilmu antropologi" di ranah Aceh. antropologi bukanlah aliran sesat tetapi dia adalah sebuah disiplin ilmu budaya, kepada SIS tulisannya patut diapresiasi karena dengan analisisnya yang kuat melihat fenomena aliran sesat telah membuka mata kita, betapa lemahnya kuda-kuda keislaman Aceh selama ini. Seharusnya Islam di Aceh harus memberikan keindahan dengan Islam yang penuh nuansa pengetahuan dan kedamaian tidak terjebak dalam "materialisme" dan "gaya hidup" sehingga aliran lain tidak akan berani memasuki pintu Serambi Mekkah. Kepada lembaga yang merasa dirugikan dan di "zalimi" dengan tema tersebut tidak perlu terjebak dengan kuantitas calon mahasiswa tapi bagaimana memikirkan kualitas mahasiswa yang ada untuk dijadikan teladan kepada calon mahasiswa berikutnya di jurusan antropologi. Karena sepengetahuan saya pengantar antropologi telah diajarkan di SMA-SMA diseluruh Aceh dan saya yakin mereka tahu bahwa antropologi itu bukanlah sebuah aliran apalagi "sesat". | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Antropologi : Mari berkenalan dengan Antropologi Posted: 11 Oct 2011 07:41 AM PDT Apa sih antropologi? Terdengar seperti suatu cabang ilmu yang mempelajari tulang belulang dinosaurus? Bukan, itu paleontologi. Antropologi mempelajari suatu hal yang akrab dengan kita, tepatnya sesama manusia. Sebenarnya saya sudah mengenal antropologi sejak 15 tahun yang lalu. Ketika bersekolah di bangku SMA saya memilih jurusan A4 yang berkonsentrasi pada budaya (meskipun banyak yang menganggap jurusan ini adalah jurusan bahasa karena mempelajari sastra). Saat diminta memilih jurusan ekonomi atau budaya, pilihan kedua terlihat lebih menarik, karena mata pelajaran ekonomi amat membosankan bagi saya. Apalagi terngiang-ngiang para guru sekolah lain, teman dan orang tua yang menganggap jurusan A4 adalah jurusan "buangan" dan dipenuhi pemalas dan anak bodoh. Bagi saya lebih baik dicap bodoh daripada mati bosan saat belajar di kelas selama 2 tahun ke depan. Bahasa Perancis adalah iming-iming yang paling mengundang dari jurusan budaya ini. Setelah membeli buku-buku pelajaran, baru saya mengetahui mata pelajaran apa saja yang akan saya hadapi. Salah dua di antaranya adalah sosiologi dan antropologi (diajarkan dalam 1 mata pelajaran) dan Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jujur saja, buku pegangan Sosiologi-Antropologi (SosAntrop) untuk Sekolah Menengah Atas karangan Prof. Selo Soemardjan (alm) pertamanya tidak menarik. Seperti buku-buku pelajaran lainnya, saya anggap buku yang bersampul nelayan yang sedang mengayuh perahu bercadik bakal membosankan. Apalagi dengan foto-foto hitam putih di atas kertas koran yang lebih menyerupai kertas buram. Apalagi buku Sejarah Kebudayaan Indonesia, bersampul foto stalagtit untuk jilid pertama, candi dan masjid untuk jilid-jilid selanjutnya. Dari sampul sama sekali tidak mengundang. Untungnya guru SosAntrop kami adalah seorang ibu yang tergolong asyik dan lebih dihormati karena beliau adalah alumni. Dari cara mengajar, dia tidak menerapkan hal tidak berbeda dari guru lain: membaca buku, menggaris bawahi hal penting dan mencatat beberapa tambahan. Saat dia bercerita, nah itu yang menarik, dia bisa menghubungkan bahasan dengan kehidupan para murid. Kebetulan asal suku para siswi di kelas saya cukup beragam. Nyaris setiap pulau di Indonesia memiliki perwakilan, dari Sumatra sampai Papua. Jadi ketika dia bercerita tentang tatanan sosial masyarakat Batak, dia melakukannya sambil berdiskusi dengan siswi yang berasal dari suku Batak. Membicarakan Kalimantan, dia akan langsung bertanya, "Siapa yang orang Dayak?". Pelajaran jadi menyenangkan dan membuat kami penasaran tentang budaya teman sekelas yang lain. Sejak itu saya berhobi memperhatikan berbagai kebudayaan beragam suku dan bangsa. Jadi apakah sebenarnya antropologi itu? Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia; antropologi adalah ilmu tentang manusia, tentang asal usul, adat istiadat, bentuk fisik dan kepercayaan. Ilmu ini memiliki cabang: Antropologi Budaya (menitikberatkan masalah kebudayaan manusia) dan Antropologi Sosial (menganalisis aneka sifat masyarakat dan kebudayaan manusia secara sinkronis). Singkatnya: mempelajari manusia (sesuai dengan kata Antrophos dari Bahasa Yunani yang berarti manusia). Kurang menarik apalagi? Lha wong ngomongin orang, hal yang menarik sekali! Saya (dan banyak orang lain tentu saja) selalu cenderung ingin tahu tentang orang lain. Apalagi setelah saya mempelajarinya di sekolah menengah dengan tambahan "Manusia dan Kebudayaan" oleh Prof. Koentjaraningrat sebagai buku tambahan, memang ilmu ini terutama membicarakan manusia, dan kami terutama membahas kebudayaannya. Beruntunglah saya! Kebudayaan yang berkembang di Indonesia sejak zaman sejarah dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa (Koentjaraningrat, 1971:21). Penyataan Prof. Koentjaraningrat itu adalah inti dari pelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia yang saya pelajari di SMA. Selain kebudayaan Eropa, kebudayaan Hindu dan Islam masuk lewat damai. Hal ini menyebabkan kedua budaya tersebut dapat berasimilasi secara maksimal dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan untuk Agama Islam yang sudah memiliki peraturan tertulis, proses asimilasi dapat terjadi. Ketika kerajaan-kerajaan di Indonesia mulai berdagang dengan Bangsa Parsi dan Gujarat (1), mereka mulai mengenal agama ini. Hanya di Indonesia di mana Tahun Baru Islam dimeriahkan dengan sesaji, samadi menjadi salah satu praktik religi dan pengajian mengawali perayaan adat dan penyebaran Syariah Islam lewat wayang. Agama Hindu memiliki peninggalan yang berbeda, kebetulan dibahas lebih mendalam dalam Sejarah Kebudayaan Indonesia dan Sejarah Kesenian Timur. Hal ini disebabkan oleh mulainya orang Indonesia menentukan identitas diri (dalam bentuk Kerajaan Sriwijaya) (2). Sebelum Agama Hindu masuk, masyarakat yang tinggal di Kepulauan Indonesia belum mengenal aksara (Zaman Prehistori (3). Mereka mulai mencatat dan memperjelas tatanan masyarakat setelah para pedagang dari India Selatan memperkenalkan huruf Sansekerta. Jejak pengaruh kebudayaan Hindu bisa dilihat dari peninggalan candi-candi dan prasasti di sepanjang Pulau Jawa dan Kalimantan Timur, kebiasaan membakar dupa, dan peninggalan yang paling hidup: masyarakat Bali. Eksotisme budaya Indonesia untuk semua Saya tidak perlu bercerita tentang eksotika Bali lagi. Yang jelas sudah banyak orang yang terpesona akan kehidupan masyarakat Bali. Sudah banyak yang terinspirasi dan mengeksploitasi nyaris segala aspek kehidupan di Pulau Dewata. Tradisi yang bukan hanya mendarah daging, tapi sudah menjadi sinar matahari dan oksigen bagi masyarakatnya. Karena tanpanya perekonomian akan runtuh. Kebetulan saya sempat tinggal 2 bulan di sana ketika menggarap Tugas Akhir tahun 2002. Teknik tenun ikat Endek menjadi makanan sehari-hari. Masa itu saya mulai menyelami kehidupan pengrajin Endek yang santai. Industri rumah tangga yang menyelup benang hanya jika pesanan datang. Untungnya pesanan selalu datang, sehingga mereka mampu untuk membeli motor untuk setiap anggota keluarga (yang ternyata adalah suatu hal yang wajar untuk keluarga di Bali karena sarana angkutan umum dianggap kurang memadai). Semua orang Bali yang saya temui benar-benar sesuai seperti brosur di agen perjalanan. Ramah, selalu tersenyum dan akan tersenyum lebih lebar jika pembayaran dalam dolar atau yen. Saat saya berkunjung pasca bom, senyum mereka sedikit luntur. Orang-orang yang saya kenal (maupun tidak) mengeluh akan sedikitnya turis yang datang. Untung tradisi tetap berjalan, sehingga saat dunia melupakan kejadian terror tersebut, perekonomian mulai membaik. Saat tinggal di sana, saya mulai mengenal corak kehidupan yang lain. Menyenangkan untuk dipelajari dan teringat sampai lama setelah itu. Saya percaya cara kita melihat sesuatu akan terpengaruh oleh pengetahuan yang kita miliki. Saat saya melihat iklan sebuah lini perawatan tubuh ini terlihat suatu hal yang amat familiar: muka yang amat "Bali". Dengan ikat kepala dan tanda berkat di dahi. Ternyata itu adalah produk perawatan tubuh Indonesian Treasures. Hal ini cukup mengejutkan, karena majalah yang saya buka adalah majalah Oprah edisi Oktober 2007 yang hanya dijual di Afrika Selatan. Perusahaan Indonesian Treasures dibangun oleh seorang pengusaha Afrika Selatan, Jonathan Stone. Ia terpukau oleh kekayaan produk perawatan tradisional Bali dan berniat membawa sedikit "keajaiban Asia ke Afrika Selatan" (4). Bukan, saya tidak berniat untuk memprovokasi dan menyanyikan refrain lagu lama, "Mereka saja bisa mengapa kita tidak". Kebetulan saja contoh-contoh yang saya ceritakan dilaksanakan oleh orang bukan Indonesia. Banyak juga kok orang Indonesia yang terinspirasi budaya lokal. Misalnya tren Batik Lawasan yang membakar semangat industri batik, komik "Lagak Jakarta" oleh Mas Benny dan Mas Mice, lini kosmetik Mustika Ratu yang tak bosan memperkenalkan warna tradisional, wisata kuliner yang mempopulerkan jajanan tradisional, dan tak terhitung lagi yang lain. Saya hanya kagum bahwa Pak Stone dapat memiliki ide untuk memasarkan perawatan tradisional Bali beribu-ribu kilo dari asalnya. Dia memajang citra Bali dengan indahnya. Tersirat konsumen akan merasa disembuhkan dan aman menikmati produk perawatan dan spa dari Indonesian Treasures. Mungkin saat eureka Pak Stone ketika ia menikmati salah satu spa di Bali. Saat dibuai pijatan melenakan, semilir angin dan wangi bau minyak pijat, muncullah ide untuk mengemas pengalaman indahnya dan menjualnya di Cape Town. Satu lagi contoh tentang pengenalan kebudayaan Bali yang inspiratif adalah buku laris manis Elizabeth Gilbert berjudul "Eat, Pray, Love". Buku ini berupa memoar penulisnya ketika pergi ke Italia untuk menikmati hidup (makan sepuasnya), belajar meditasi di India dan melakukan keduanya di Bali (plus menemukan cinta). Saya penasaran untuk membacanya karena resensi seorang teman. Menurutnya, Ibu Gilbert benar-benar mengenal kehidupan orang Bali, segi memukau dan menyebalkannya. Menurutnya, segi menyebalkan yang diceritakan memang benar, tetapi dapat menyiratkan publikasi yang buruk tentang orang Bali. Setelah saya membacanya, ya memang benar. Elizabeth Gilbert bercerita tentang seorang penyembuh, janda cerai Bali beranak 3 yang amat memerlukan uang untuk membeli rumah. Simpati penulis ini semakin dalam karena ia mengetahui pandangan buruk masyarakat Bali terhadap wanita yang bercerai. Terketuklah hati Ibu Gilbert dan mulai menyebarkan surat elektronik ke kawan-kawannya untuk mengumpulkan dana. Setelah uang sudah terkumpul dan diberikan ke janda tersebut, mulailah keribetan dimulai. Ternyata memilih rumah memakan waktu lebih dari sebulan ada saja alasan yang dicetuskan. Sehingga penulis makin mengerti maksud "secepatnya" bukan berarti waktu yang bisa ditentukan. Terlepas dari segi memukau atau mengecewakan, kedua orang di atas benar-benar mengenal kehidupan dan masyarakat Bali. Kemudian "studi antropologi kecil" yang mereka dapat mampu menginspirasi. Berguna sekali, karena kita sebagai desainer grafis, illustrator, art director, sutradara, atau pekerja seni lainnya, mendesain untuk manusia. Jika mengenal secara akrab suatu kebudayaan dengan mendalam, akan memberi dampak multiguna. Pertama, tentu saja, akan memberi inspirasi. Sering sebagai desainer kita tertarik sesuatu yang eksotis, yang berbeda jauh dari lingkungan/tempat asal kita. Sesuatu yang berbau non-Indonesia akan terlihat lebih keren dan inspiratif. Hal ini disebabkan ideologi yang mengetengahkan bahwa kebudayaan barat lebih "hebat" disebut sebagai salah satu ancaman hegemoni desainer Barat (5). Sekarang budaya Indonesia justru menjadi daya tarik yang eksotik bagi masyarakat dunia. Dalam dunia yang makin mengecil (dilipat kalau menurut Pak Yasraf Amir Piliang) hegemoni Budaya Eropa dan Amerika mematok standar kekerenan. Kedua, mengenal manusia berarti mengenal budaya khalayak sasaran kita. Mendesain untuk orang Indonesia, tentu saja harus memahami adat, kebiasaan, budaya, tata krama, prinsip, aturan, pendeknya kenal luar dalam semua aspek. Alasan ketiga memang klise, tetapi adalah lagu favorit saya: pelestarian budaya. Seperti diungkapkan Pak Agus Sachari, tumbuhnya kesadaran akan peningkatan kualitas estetik tradisi melalui pendekatan modern itu penting (5). Sebenarnya tanpa sadar kita telah melakukan studi antropologi. Semakin kenal dengan budaya dan masyarakat Indonesia bakal semakin cinta deh. Jadi, mari mengakrabi budaya dan manusia Indonesia supaya lebih terinspirasi. 1) Saat Kerajaan Sriwijaya mulai mundur, para pedagang Parsi dan Gujarat mulai berdagang dengan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaya dan Jawa Timur. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Antropologi : Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia Posted: 11 Oct 2011 07:31 AM PDT Apa relevansi antropologi untuk Indonesia saat ini? Pertanyaan ini seolah smash bola voli dari umpan tarik tak terduga. Adalah dosen senior antropologi Amri Marzali yang melontarkannya. Tampil sebagai keynote speaker dalam Ć¢€4th International Symposium of Jurnal Antropologi IndonesiaĆ¢€ di Universitas Indonesia, 12-15 Juli 2005, Amri merasa gelisah dan prihatin terhadap krisis relevansi yang sedang menerpa disiplin antropologi, khususnya di Indonesia. Menurutnya, krisis relevansi itu mencakup tiga hal. Pertama, berkaitan dengan konsep utilitas dalam ilmu ekonomi atau kurang lebih asas manfaat seperti dalam ilmu ekonomi. Hal ini berhubungan dengan keadaan bahwa saat ini antropologi berkembang dalam masyarakat yang berorientasi pasar. Kedua, berkaitan dengan kekuatan explanatory, sampai seberapa jauh antropologi dapat menjelaskan masalah-masalah sosial di lingkungannya secara ilmiah. Ketiga, berhubungan dengan moral significance yang menyangkut cara dan tujuan penggunaan antropologi. Tentu saja ini berhubungan dengan etika keilmuan, yang menyangkut untuk apa dan siapa kegiatan keilmuan dilakukan, untuk kejahatan kemanusiaan atau kemaslahatan. Tulisan ini hendak memberikan beberapa catatan mengenai krisis relevansi seperti yang telah diungkapkan. Pertama, kenyataan di lapangan menunjukkan, belakangan kajian-kajian yang menggunakan antropologi sebagai alat analisa semakin banyak. Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya buku-buku kajian keislaman di Indonesia yang ditulis baik oleh sarjana Barat ataupun Timur, termasuk Indonesia. Beberapa proyek departemen, seperti Depdiknas, sebagian penelitiannya menggunakan pendekatan antropologi untuk memperoleh penjelasan terhadap beberapa masalah pendidikan di Indonesia. Sebagian LSM juga menggunakan jasa ilmu ini dalam riset-riset yang mereka lakukan. Sayangnya, pada saat yang sama, secara institusional dan akademik, antropologi tidak menjadi jurusan atau program studi yang marketable. Banyak perguruan tinggi negeri yang tersebar di seluruh Indonesia tapi tidak punya jurusan antropologi. Apalagi untuk swasta, penulis belum mendengar ada yang berani membuka jurusan antropologi. Ini memperlihatkan adanya kekhawatiran, membuka jurusan ini tidak akan memberikan keuntungan apa-apa karena tidak ada peminatnya. Bandingkan dengan jurusan akuntansi, manajemen, psikologi, atau yang sedang menjadi tren sekarang ilmu komunikasi. Alasan yang mudah diduga mengapa hanya sedikit mahasiswa yang memilih jurusan antropologi adalah karena lulusan jurusan ini tidak mudah dalam memperoleh pekerjaan. Faktor prospek masa depan adalah pertimbangan yang sangat wajar dan realistis. Banyak mahasiswa antropologi yang penulis jumpai mengaku memilih jurusan antropologi sebagai pilihan kedua atau ketiga ketika mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Artinya, selain dianggap tak terlalu menjanjikan di satu sisi, juga bahwa antropologi belum bisa mempromosikan dirinya sendiri sebagai pilihan favorit. Kedua, selama ini antropologi masih menjadi disiplin yang lebih berorientasi pada keilmuan an sich, dalam hal ini sebagai ilmu humaniora atau sosial, yang basis utamanya penelitian lapangan. Sudah saatnya untuk dipikirkan, selain berorientasi keilmuan, antropologi juga mengembangkan diri dengan berorientasi antropolog sebagai profesi. Istilah seperti antropolog, sosiolog, bahkan juga geolog dan beberapa yang lain pengertiannya bukanlah profesi, tetapi secara lazim berkonotasi pada kepakaran atau keahlian. Mereka biasanya berprofesi sebagai dosen dan atau peneliti. Bandingkan dengan disiplin psikologi yang selain berorientasi keilmuan dengan melahirkan para sarjana psikologi, juga mencetak profesi psikolog. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang mengada-ada bagi antropologi untuk memperluas orientasi akademisnya. Tentu saja ini tidak semudah membalik telapak tangan. Yang dibutuhkan adalah kerja keras, sehingga pada saatnya masyarakat akan melihat antropologi sebagai pilihan yang menjanjikan. Hal ini kiranya tidak jauh dari harapan Amri Marzali agar antropologi tidak mengenyampingkan applied anthropology, yang menurutnya sebagian ahli antropologi mengkhawatirkan akan menurunkan gengsi disiplin ini. Catatan lain, bahwa para sarjana antropologi juga mempunyai pekerjaan rumah untuk menggeser citra yang telanjur melekat pada benak masyarakat awam bahwa disiplin ini adalah ilmu yang hanya mempelajari masyarakat primitif. Kenyataan ini menunjukkan bahwa antropologi memang belum dipromosikan secara maksimal. Bahwa cakupan kajian antropologi kini telah sedemikian luasnya sehingga merambah pada kehidupan komunitas perkotaan yang kosmopolit, hal ini merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Poin ini juga mempunyai hubungan dengan antropologi terapan yang semestinya mempunyai sensitivitas terhadap berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat sebagai dampak globalisasi. Akhir kata, penulis berharap catatan ini bisa menyambung lidah kelu Amri Marzali, salah satu mursyid antropologi di Indonesia saat ini, yang telah memperjuangkan kemajuan disiplin antropologi agar bisa memberi kontribusi lebih besar kepada bangsa ini. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Posted: 11 Oct 2011 04:03 AM PDT Internet merupakan jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat di tahun 1969, melalui proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita bisa melakukan komunikasi dalam jarak yang tidak terhingga melalui saluran telepon. Proyek ARPANET merancang bentuk jaringan, kehandalan, seberapa besar informasi dapat dipindahkan, dan akhirnya semua standar yang mereka tentukan menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). Tujuan awal dibangunnya proyek itu adalah untuk keperluan militer. Pada saat itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membuat sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi serangan nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang dapat mudah dihancurkan. Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu di tahun 1969, dan secara umum ARPANET diperkenalkan pada bulan Oktober 1972. Tidak lama kemudian proyek ini berkembang pesat di seluruh daerah, dan semua universitas di negara tersebut ingin bergabung, sehingga membuat ARPANET kesulitan untuk mengaturnya. Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu “MILNET” untuk keperluan militer dan “ARPANET” baru yang lebih kecil untuk keperluan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan akhirnya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan menjadi Internet. [sunting] Daftar kejadian penting
[sunting] Kejadian penting lainnyaTahun 1971, Ray Tomlinson berhasil menyempurnakan program e-mail yang ia ciptakan setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu mudah sehingga langsung menjadi populer. Pada tahun yang sama, ikon “@” juga diperkenalkan sebagai lambang penting yang menunjukkan "at" atau "pada". Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika yang menjadi anggota jaringan Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang ahli komputer yakni Vinton Cerf dan Bob Kahn mempresentasikan sebuah gagasan yang lebih besar, yang menjadi cikal bakal pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex. Hari bersejarah berikutnya adalah tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris berhasil mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun kemudian, sudah lebih dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin, menciptakan newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France Telecom menciptakan gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana orang bisa saling menelpon sambil berhubungan dengan video link. Karena komputer yang membentuk jaringan semakin hari semakin banyak, maka dibutuhkan sebuah protokol resmi yang diakui oleh semua jaringan. Pada tahun 1982 dibentuk Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita kenal semua. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal dengan Eunet, yang menyediakan jasa jaringan komputer di negara-negara Belanda, Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan jasa e-mail dan newsgroup USENET. Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang ada, maka pada tahun 1984 diperkenalkan sistem nama domain, yang kini kita kenal dengan DNS atau Domain Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi 1000 komputer lebih. Pada 1987 jumlah komputer yang tersambung ke jaringan melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 lebih. Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, jumlah komputer yang saling berhubungan kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000 komputer kini membentuk sebuah jaringan. Tahun 1990 adalah tahun yang paling bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang bisa menjelajah antara satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau World Wide Web. Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui sejuta komputer, dan di tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun 1994, situs internet telah tumbuh menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berubah. Di tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus kelahiran Netscape Navigator. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Posted: 10 Oct 2011 04:09 PM PDT Sebelum penulis mempresentasikan hasil penelitian ini, terlebih dahulu penulis mengucapkan terima kasih kepada tim penguji yang telah memberikan waktu kepada penulis. Selain itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak jurusan dan pihak dekanat yang telah memberikan izin kepada penulis untuk dapat mengikuti ujian ini. |
You are subscribed to email updates from MataKuliah.info To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Top Tabs
DAFTAR ASKEP
- ASKEP AMPUTASI (1)
- ASKEP APPENDICITIS (1)
- ASKEP DIABETES MELLITUS (1)
- ASKEP ENDOKARDITIS (1)
- ASKEP ENSEFALITIS (1)
- ASKEP MENINGITIS (1)
- ASKEP PNEUMIONIA (1)
- ASKEP SINDROM NEFROTIK (1)
- ASKEP THYPOID (1)
- Blogger Nusantara Blogpreneur Indonesia (1)
- ciclogaia.org (1)