Home >Unlabelled > MataKuliah.info
MataKuliah.info
Posted on Rabu, 26 Oktober 2011 by Alamsyah Saputra Agung
MataKuliah.info |
- MEMBANGUN HUKUM INDONESIA DI ERA TEKNOLOGI
- Klausul Arbitrase dan Pengadilan
- Hukum Dalam Perspektif Antropologi
MEMBANGUN HUKUM INDONESIA DI ERA TEKNOLOGI Posted: 26 Oct 2011 03:58 AM PDT Kemajuan teknologi di Indonesia kini dirasakan telah memberikan manfaat bagi perkembangan hukum di tanah air, baik itu yang bersifat akademik maupun secara praktik. Setelah Mahkamah Konstitusi menjadi pionir dalam melakukan berbagai terobosan baru dalam hal penggunaan ITC (Information, technology and communication) pada proses peradilannya, yaitu dimulai dari pendaftaran perkara secara online, persidangan dengan menggunakan teleconference, hingga pemuatan setiap putusan di dalam layan (website) resminya tidak kurang dari 15 menit setelah dibacakannya, kini para akademisi hukum pun secara personal telah pula memanfaatkan keunggulan cyber dalam berkarya. Salah satu akademisi yang ikut ambil bagian dalam pemanfaatan IT yaitu Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara yang kini juga menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Tidak lama setelah meluncurkan website pribadinya, kini beragam buku dan artikel hukum karyanya telah “berpose” secara sempurna di website tersebut untuk dapat diunduh secara bebas bagi siapapun yang membutuhkannya. Entah apakah ini merupakan salah satu respon atas tulisan penulis terdahulu atau bukan (wallahualam bish shawab), tetapi satu hal yang pasti bahwa trend pembuatan free e-Book di tengah-tengah keringnya sumber bacaan online yang komprehensif tentang hukum Indonesia, ibarat menemukan oase di tengah gurun pasir yang tandus. Sebelumnya penulis mendapat kabar bahwa buku-buku karyanya akan dibentuk sebatas format membaca secara online seperti yang dipergunakan oleh Googlebooks, namun ternyata buku-buku tersebut dibentuk dalam format PDF dan artikel-artikelnya disusun dalam format Microsoft Words yang keseluruhannya dapat diunduh (di-download) secara bulat-bulat. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita jadikan catatan positif atas pembuatan free e-Book ini, yaitu: Pertama, free e-Book dapat menjadi sumber bacaan bagi setiap lapisan masyarakat Indonesia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Patut kita sadari bahwa tidak semua buku-buku hukum dalam format hard copy terdistribusi secara baik dan merata hingga sudut-sudut kota, ataupun seluruh pelosok tanah air. Walaupun memerlukan fasilitas internet untuk memilikinya saat pertama kali, tetapi bagi para pembaca selanjutnya hanya dengan menggunakan CD, flash disk, email, ataupun media lainnya, e-book ini dapat dengan mudah dan cepat dipindahkan dari satu tangan ke tangan lainnya. Untuk membacanya pun bisa dilakukan langsung melalui layar komputer atau dengan mencetak ulang file tersebut dalam lembaran-lembaran baru. Tentunya hal ini juga menjadi kabar gembira bagi para mahasiswa ataupun peneliti Indonesia yang kini sedang berada di luar negeri karena kini memperoleh sumber bacaan terbaru tentang perkembangan hukum di tanah air sebagai bahan-bahan pembuatan tugas ataupun penelitiannya. Bagi sebagian kalangan yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di luar negeri, hampir dapat dipastikan pernah merasakan kesulitan untuk memperoleh berbagai sumber dan buku hukum Indonesia ketika harus menjumpai analisa terkini mengenai status hukum di Indonesia, meskipun telah pula dibantu oleh Prof. Google, Ph.D. Sedangkan keterbatasan jumlah buku yang dibawa hanya sebatas pedoman umum yang tidak mampu menjadi pendukung berbagai penyelesaian tugas dan penelitianya. Kini bagi mereka yang bergelut di bidang Hukum Tata Negara, HAM, Kepemerintahan dan sejenisnya, kiranya telah memperoleh salah satu bacaan pokok yang dapat disimpan dan dibawa kemanapun mereka berpergian. Kedua, penciptaan kreasi e-Book bagi masyarakat Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru, sebagaimana misalnya kita mengenal Jennie S. Bev sebagai the Indonesian Princess of e-Book yang telah meluncurkan berbagai karya tulisnya dalam format e-Book. Namun, terobosan e-Book yang dilakukan di ranah hukum akan lebih mempunyai arti tersendiri, khususnya dalam memberikan inspirasi dan motivasi para penggiat hukum lainnya untuk mengembangkan ilmu dan berbagai gagasannya. Banyak yang menilai bahwa budaya dan kesadaran membaca di kalangan peserta akademis Indonesia sangatlah minim apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Hemat penulis, selain tidak ditumbuhkembangkannya “kampanye” budaya membaca sejak dini, baik dari tingkat keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, hingga tampuk kepemimpinan di pemerintahan kita sendiri, minimnya fasilitas pendukung pun juga memberikan andil terhadap rendahanya soft power bangsa ini. Misalnya, jurang pemisah antara harga buku-buku terhadap kemapuan dan daya beli masyarakat cukuplah besar; jumlah perpustakaan yang memilik koleksi buku lengkap masihlah sangat minimnya; tidak tersedianya akses internet untuk mencari sumber bacaan ataupun informasi terbaru; ataupun ketiadaan akses dan dana untuk berlangganan jurnal online dari para penerbit jurnal internasional ternama. Penulis teringat dengan ucapan salah satu Ketua Pusat Penelitian dan Pengkajian di Jakarta yang mengatakan bahwa selama satu tahun beliau menempuh studi program pascasarjana S-2 di luar negeri, jumlah buku yang ia baca menjadi berkali-kali lipat lebih banyak dari buku yang sempat ia baca selama empat tahun menempuh program sarjana S-1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Alasannya sederhana, di tempat ia mengenyam pendidikan S-2 tersebut seutuhnya telah tercipta suasana dan atmosfer pendidikan yang menyebabkan terjadinya trasnformasi kearah peningkatan minat baca peserta didik, termasuk dengan tersedianya perpustakaan lengkap dan akses online journal dari manca negara. Oleh karenanya, hadirnya free e-Book ataupun e-Article diharapkan juga menambah semangat membaca dan motivasi di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya dari para penggiat hukum itu sendiri. Penulis yakin hal ini dapat pula menjadi inspirasi jangka panjang bagi para Jimly-Jimly Jr. lainnya. Ketiga, seiring dengan disahkannya UU Kebebesan Memperoleh Informasi Publik (KMIP), berbagai institusi kepemerintahan sudah seyogyanya pula lebih mempersiapkan diri dan bergerak cepat untuk memanfaatkan kemajuan ITC guna membuka diri seluas-luasnya terhadap berbagai kegiatan dan laporannya, khususnya terkait dengan karya-karya yang dapat menunjang pembangunan pendidikan bagi bangsa Indonesia. Terlebih lagi bagi Institusi yang terkait dengan bidang Ilmu Hukum dan Perundangan-undangan, sudah saatnya mulai menyediakan berbagai informasi utuh dan transparan untuk kebutuhan masyarakat hukum Indonesia. Alangkah disayangkan apabila untuk mencari suatu putusan atau produk perundang-undangan saja, hingga saat kini kita masih harus menggunakan jasa pihak lain guna memperolehnya. Selain itu, Program Nasional dalam hal penyediaan Akses Gratis Jurnal (Online) Internasional bagi berbagai Institusi Pendidikan di Indonesia harus terus dikumandangkan dan dijalankan secara bertahap. Sehingga di masa yang akan datang, anak negeri ini senantiasa dapat bersaing dengan negara-negara lainnya di bidang kemajuan ilmu pengetahuan tanpa harus berpindah locus pendidikannya dari dalam negeri. Pun kita harus mulai menyadari kini bahwa “The World is Flat”, ungkap Thomas L. Friedman. Akhir kata penulis mengucapkan, selamat menghabiskan akhir pekan ditemani dengan buku-buku hasil unduh secara bebas karya Prof. Jimly. Terus Berkarya! Salam, Pan Mohamad Faiz Oleh: Pan Mohamad Faiz |
Klausul Arbitrase dan Pengadilan Posted: 26 Oct 2011 03:56 AM PDT KEMUNGKINAN DIAJUKANNYA PERKARA DENGAN KLAUSUL ARBITRASE KE MUKA PENGADILAN I. Pendahuluan Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya. Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999: "Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa." Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa: "Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa." Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract – wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Dalam jurisprudensi, kita mengetahui ada suatu kasus yaitu Arrest Artist de Labourer dimana perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri padahal sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya. Pada praktek saat ini juga masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak yang kalah dalam arbitrase. Melihat permasalahan diatas, maka timbul beberapa pertanyaan : Apakah Pengadilan berwenang memeriksa perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya? II. Pengaturan Mengenai Arbitrase A. Definisi Arbitrase Menurut Black’s Law Dictionary: “Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation”.Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalampasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasanpasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-PokokKekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luarPengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetapdiperbolehkan. B. Sejarah Arbitrase Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan. C. Objek Arbitrase Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 ("UU Arbitrase") hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854. C. Jenis-jenis Arbitrase Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase. Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausularbitrase sebagai berikut: “Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir”. Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah sebagai berikut: “Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL." Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kaliadalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknyaklausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul. D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah : para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ; Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah: Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas. III. Keterkaitan antara Arbitrase dengan Pengadilan A. Hubungan Arbitrase dan Pengadilan Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase 1. Putusan Arbitrase Nasional Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final ddan mengikat. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun. 2. Putusan Arbitrase Internasional Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing. C. Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang Sudah Dijatuhkan Putusan Arbitrasenya Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement. Dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya. Seperti dalam kasus berikut : Dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan tetap menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya) dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02 K/Ex'r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000. Kasus diatas adalah salah satu contoh dimana pengadilan menentang lembaga arbitrase. Sebelumnya telah jelas bahwa pengadilan tidak boleh mencampuri sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase. Lalu apakah ada alasan-alasan yang dapat membenarkan pengadilan memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat dengan klausul arbitrase? Dalam jurisprudensi salah satu contoh adalah Arrest Artist de Labourer. Arrest HR 9 Februari 1923, NJ. 1923, 676, Persatuan Kuda Jantan ( penggugat ) telah mengasuransikan kuda Pejantan bernama Artis de Laboureur terhadap suatu penyakit /cacad tertentu, yang disebut cornage. Ternyata pada suatu pemeriksaan oleh Komisi Undang2 Kuda, kuda tersebut dinyatakan di-apkir, karena menderita penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugi dari Perusahaan Asuransi. Didalam Polis dicantumkan klausula yang mengatakan, bahwa sengketa mengenai Asuransi, dengan menyingkirkan Pengadilan, akan diputus oleh Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi, kecuali Dewan melimpahkan kewenangan tersebut kepada suatu arbitrage. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak membayar ganti rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimuka Pengadilan. Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka tergugat membantah dengan mengemukakan, bahwa Pengadilan tidak wenang untuk mengadili perkara ini. Pengadilan 's Gravenhage a.l. telah mempertimbangkan : Setelah Pengadilan menyatakan dirinya wenang memeriksa perkara tersebut, maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan Dewan Asuransi harus disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkan kepada suatu penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggap tidak perlu mendengar pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik. Pengadilan mengabulkan tuntutan uang santunan ganti – rugi sampai sejumlah uang tertentu. Pihak Asuransi naik banding. Hof Amsterdam dalam keputusannya a.l. telah mempertimbangkan : Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan Polis ybs., para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mengenai Asuransi tersebut kepada Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap keputusan Dewan, yang diambil dengan tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak, yang dikeluarkan oleh pihak yang tidak netral, mungkin saja ada keberatan-keberatan, namun para pihak telah membuatnya menjadi undang-undang bagi mereka, karena telah terbentuk melalui kesepakatan para pihak, yang tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, sehingga permasalahannya adalah, apakah ketentuan perjanjian itu, oleh Dewan, tidak telah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana pendapat dari Pengadilan Amsterdam, pertanyaan mana menurut pendapat Hof, karena mengenai pelaksanaan suatu perjanjian, adalah masuk dalam kewenangan Hakim. Hof, untuk menjawab permasalahan tersebut, setelah mengemukakan patokan, bahwa itikad baik dipersangkakan dan tidak adanya itikad baik harus dibuktikan, telah menerima fakta-fakta yang disebutkan dalam keputusan Dewan sebagai benar, a.l. :………" bahwa menurut pendapat Hof keputusan tersebut( maksudnya : keputusan Dewan, penj.pen.) …….adalah tidak sedemikian rupa, sehingga dapat dianggap tidak telah diberikan dengan itikad baik, dan bahwa itikad buruk pada pelaksaan perjanjian, sepanjang mengenai pengambilan keputusan oleh Dewan Asuransi, tidak telah dibuktikan " atas dasar mana Hof menyatakan keputusan Dewan Asuransi tidak bisa dibatalkan oleh Hakim dan karenanya membatalkan keputusan Pengadilan Amsterdam. Persatuan Kuda Jantan naik kasasi. Catatan : Pengadilan menganggap dirinya wenang untuk menangani perkara tersebut dan menyatakan keputusan Dewan tidak melanggar itikad baik Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan kasasi ini ternyata adalah, apakah maksud ayat ke-3 Ps. 1374 B.W. ( Ps. 1338 ayat 3 Ind ) dengan itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai dengan patokan, subyektif – suatu sikap batin tertentu dari si pelaksana – atau obyektif – suatu cara pelaksanaan. HR meninjau, apakah isi keputusan Dewan Asuransi, sebagai pelaksanaan dari perjanjian Asuransi antara Penggugat dengan Perusahaan Asuransi, memenuhi tuntutan itikad baik, memenuhi kepantasan dan kepatutan menurut ukuran orang normal pada umumnya dalam masyarakat ybs. Disini dipakai ukuran itikad baik yang obyektif Dalam Arrest Artist de Labourer ini pengadilan menyatakan berwenang memeriksa karena yang diperiksa bukanlah pokok perkaranya melainkan cara pengambilan keputusannya, apakah Dewan Asuransi sudah mengambil keputusan berdasarkan itikad baik yang sesuai dengan asas kepatutan dan kepantasan. Itikad baik disini memiliki dua kemungkinan yaitu itikad baik objektif atau subjektif, dimana Hof dan Hoge Raad kemudian menilai bahwa itikad baik yang objektif lah yang dipakai. Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu perjanjian harus didasarkan atas asas itikad baik. Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya agar sesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339 B.W., yang menyatakan bahwa, " suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalmnya tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang". Itikad baik dapat dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedang itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik. Dalam kasus Bankers Trust melawan Mayora sungguh aneh karena mengetengahkan ketertiban umum sebagai salah satu alasan. Seharusnya PN Jakarta Selatan menolak untuk memeriksa perkara tersebut karena bukan merupakan kewenangannya, tidak diajukan atas dasar adanya perbuatan melawan hukum, dan dengan Mayora mengajukan perkara tersebut ke pengadilan negeri padahal saat itu arbitrase sedang berjalan, menunjukkan bahwa Mayora tidak beritikad baik dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam hal ketertiban umum, yang dimaksud ketertiban umum oleh hakim adalah perkara tersebut sedang dalam proses di pengadilan hukum di pengadilan, alasan seperti ini seharusnya tidak bisa dijadikan alasan ketertiban umum. Apa yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melanggar ketentuan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999, dan sayangnya Mahkamah Agung justru menguatkan putusan ini. Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonan arbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi asasi dari hukum suatu negara. UU Arbitrase pada bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Akibatnya, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum, namun dapat digunakan kriteria sederhana sebagai berikut : Ketertiban umum yang dijadikan dalih PN Jakarta Selatan untuk menolak permohonan Bankers Trust tidak termasuk ketertiban umum yang sudah diuraikan diatas. Pengadilan Jakarta Selatan juga telah melakukan kesalahan karena memeriksa isi perkara dan bukan sekedar memeriksa penerapan hukumnya saja seperti dalam arrest Artist de Labourer. Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik. IV. Kesimpulan Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum. Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri. Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri. |
Hukum Dalam Perspektif Antropologi Posted: 25 Oct 2011 04:08 PM PDT Hukum Dalam Perspektif Antropologi Melalui studi-studi antropologis mengenai sistem pengendalian sosial (social control) di berbagai komunitas masyarakat di dunia, kalangan ahli antropologi memberi kontribusi yang sangat penting dan bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang secara nyata berlaku dan dioperasikan dalam kehidupan masyarakat. Anthropologist have focussed upon micro processes of legal action and interaction, they have made the universal fact of legal pluralism a central element in the understanding of the working of law in society, and they have self-consciously adopted a comparative and historical approach and drawn the necessary conceptual and theoritical conclusion from this choice (Griffiths, 1986:2). 1. Di satu sisi, hukum dalam pandangan Radcliffe-Brown adalah suatu sistem pengendalian sosial yang hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu bangunan Negara, karena hanya dalam suatu organisasi sosial seperti Negara terdapat pranata-pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dll. sebagai alat-alat Negara yang mutlak harus ada untuk menjaga keteraturan sosial dalam masyarakat. Karena itu, dalam masyarakat-masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi secara politis sebagai suatu Negara tidak mempunyai hukum. Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan (automatic-spontaneous submission to tradition). 2. Di sisi lain, Malinowski berpendapat, bahwa hukum tidak semata-mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu Negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (legal order) terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam kehidupan masyarakat bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis-spontan, seperti dikatakan Radcliffe-Brown, tetapi karena adanya prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan prinsip publisitas (principle of publicity). Sistem pertukaran sosial yang berkembang dalam masyarakat Trobriand menjadi pengikat sosial dan daya dinamis yang menggerakkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat melalui prinsip resiprositas atau timbal-balik dalam bentuk pertukaran benda dan tenaga, menggerakkan hubungan-hubungan ekonomi, pertukaran jasa antar kerabat, menggerakkan kehidupan kekerabatan, sistem pertukaran mas kawin, dan juga menggerakkan hubungan antar kelompok dalam bentuk upacara-upacara yang berlangsung dalam kehidupan bersama. Dari pandangan 2 ahli antropologi di atas dapat dikatakan, bahwa apabila hukum diberi pengertian yang sempit, hanya sebagai sistem pengendalian sosial yang diciptakan oleh lembaga legislatif dan diterapkan oleh aparat penegakan hukum seperti polisi, pengadilan, jaksa, atau penjara dalam kehidupan organisasi negara, maka hukum diartikan bahwa masyarakat-masyarakat sederhana yang tidak terorganisasi sebagai suatu Negara tidak memiliki hukum. Tetapi, kalau hukum diberi pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai proses-proses pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial (Nader, 1965:4; Radfield, 1967:3; Pospisil, 1967:26; Bohannan, 1967:48). Wacana antropologis mengenai hukum dalam perkembangan selanjutnya memperoleh elaborasi dari kalangan antropolog yang lain. Konsep hukum yang dikemukakan Malinowski memperoleh komentar dan kritik dari Bohannan (1967:45-9), yang pada pokoknya menyatakan seperti berikut : 1. Mekanisme resiprositas (reciprocity) dan publisitas (publicity) sebagai kriteria untuk mengatur hak dan kewajiban dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya bukanlah merupakan hukum seperti dimaksudkan Malinowski, tetapi hanya merupakan suatu kebiasaan (custom) yang digunakan masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial. 2. Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat. 3. Kendatipun kebiasaan dan peraturan hukum saling berbeda satu sama lain, karena kebiasaan terwujud sebagai institusi non hukum dan peraturan merupakan institusi hukum, tetapi dalam masyarakat selalu ditemukan kedua bentuk institusi tersebut (institusi hukum dan institusi non hukum). Norma-norma hukum dalam masyarakat cenderung mengabaikan atau menggusur atau bahkan sebaliknya memfungsikan keberadaan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi non hukum dalam penyelesaian kasus-kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat. 4. Peraturan-peraturan hukum juga mengembangkan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi hukum melalui proses pelembagaan ulang (reinstitutionalized) dan dinyatakan ulang (restated), sehingga peraturan hukum juga dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang telah dilembagakan kembali untuk tujuan-tujuan yang ingin dicapai hukum tersebut. Dengan demikian, apabila dihubungkan dengan pengertian hukum yang dikemukakan Malinowski, maka peraturan hukum diartikan sebagai seperangkat kewajiban yang dipandang sebagai hak warga masyarakat dan kewajiban bagi warga masyarakat yang lain, yang telah dilembagakan ulang menjadi institusi hukum, untuk suatu tujuan agar kehidupan masyarakat secara terus menerus dapat berlangsung dan berfungsi dengan keteraturan yang dikendalikan oleh institusi hukum. Karena itu, dikatakan bahwa resiprositas berada pada basis kebiasaan, tetapi kebiasaan yang telah dilembagakan sebagai norma hukum melalui tahapan yang disebut double institutionalization of norms (Bohannan, 1967:48). Lebih lanjut, konsep mengenai hukum yang dikemukakan Malinowski juga memperoleh komentar dan kritik dari Pospisil (1967: 25-41; 1971:39-95), yang pada pokoknya menyatakan seperti berikut : 1. Pengertian hukum yang dikemukakan Malinowski dipandang terlalu luas, sehingga hukum yang dimaksudkan juga mencakup pengertian kebiasaan-kebiasaan (customs), dan bahkan semua bentuk kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan aspek religi dan juga kewajiban-kewajiban yang bersifat moral dalam kehidupan masyarakat. 2. Hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang mempunyai fungsi sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial (social control) dalam masyarakat. Karena itu, untuk membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam masyarakat, maka peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut hukum (attributes of law), yaitu : (1) Atribut Otoritas (Attribute of Authority), yaitu peraturan hukum adalah keputusan-keputusan dari pemegang atoritas untuk menyelesaikan sengketa atau ketegangan sosial dalam masyarakat, karena adanya ancaman terhadap keselamatan warga masyarakat, keselamatan pemegang otioritas, atau ancaman terhadap kepentingan umum. (2) Atribut dengan Maksud untuk Diaplikasikan secara Universal (Attribut of Intention of Universal Aplication), yaitu keputusan-keputusan dari pemegang otoritas tersebut dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang juga akan diaplikasikan terhadap peristiwa-peristiwa yang sama secara universal. (3) Atribut Obligasio (Attribute of Obligatio), yaitu keputusan-keputusan dari pemegang otoritas tersebut mengandung suatu pernyataan bahwa pihak pertama memiliki hak untuk menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak pihak pertama tersebut sepanjang mereka masih hidup. (4) Atribut Sanksi (Attribute of Sanction), yaitu keputusan-keputusan dari pihak pemegang otoritas tersebut juga disertai dengan penjatuhan sanksi-sanksi, baik berupa sanksi yang bersifat fisik seperti hukuman badan dan penyitaan harta benda, atau sanksi non fisik seperti dipermalukan di depan orang banyak, diasingkan dari pergaulan sosial, dibuat menjadi ketakutan, dll. Konsep hukum yang menekankan atribut otoritas dan atribut sanksi juga dikemukakan oleh Hoebel (1954) untuk membedakan antara norma hukum dengan norma-norma lain yang juga mempunyai fungsi sebagai alat pengedalian masyarakat (social control). Basis peraturan hukum adalah norma-norma sosial, dan norma-norma sosial akan berubah menjadi norma hukum apabila setiap pelanggaran atas norma sosial tersebut secara reguler dijatuhi sanksi fisik berdasarkan keputusan pemegang otoritas yang secara sosial diberi wewenang khusus untuk menjatuhkan sanksi tersebut. A social norm is legal if its neglect or infraction is regularly met, in threat or in fact, by the application of phisical force by an individual or group possesing the socially recognized previlege of so acting (Hoebel, 1954:28). Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata berdasarkan pada atribut otoritas seperti dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter Haar, dikenal sebagai teori Keputusan (Beslissingenleer/Decision Theory), yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum didefinisikan sebagai keputusan-keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa dan peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan dengan sengketa (Hoebel, 1979:33-4; F. von Benda Beckmann, 1979:31; Slaats & Portier, 1992: 14-5). |
You are subscribed to email updates from MataKuliah.info To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Top Tabs
DAFTAR ASKEP
- ASKEP AMPUTASI (1)
- ASKEP APPENDICITIS (1)
- ASKEP DIABETES MELLITUS (1)
- ASKEP ENDOKARDITIS (1)
- ASKEP ENSEFALITIS (1)
- ASKEP MENINGITIS (1)
- ASKEP PNEUMIONIA (1)
- ASKEP SINDROM NEFROTIK (1)
- ASKEP THYPOID (1)
- Blogger Nusantara Blogpreneur Indonesia (1)
- ciclogaia.org (1)